EVALUASI KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Evaluasi kurikulum adalah suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curriculum) dalam bentuk pembelajaran. Tujuan Evaluasi Kurikulum sebagi berikut :
a.       Menyediakan informasi mengenai pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan bagi pengembilan keputusan.
b.      Menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu kurikulum serta factor – factor yang berkontribusi dalam suatu lingkungan tertentu.
c.    Mengembangkan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam upaya perbaikan kurikulum
d.   Memahami dan menjelaskan karakteristik suatu kurikulum dan pelaksanaan suatu kurikulum.
Prosedur Evaluasi Kurikulum meliputi Kajian terhadap evaluan, Pengembangan proposal, Pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna jasa evaluasi, Revisi Proposal, Rekruitmen personalia, Pengurusan persyaratan administrasi, Pengorganisasian pelaksanaan, Analisis data, dll. Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP. Model Ekonomi, Model Kualitatif. Meliputi model studi kasus dan model iluminatif.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Pengendalian / Evaluasi Kurikulum?
2.      Bagaimana pendekatan dalam Evaluasi Kurikulum?
3.      Apa saja Model Evaluasi Kurikulum?

C.    Tujuan
1.      Mahasiswa memahami tentang pengendalian / evaluasi kurikulum.
2.      Mahasiswa memahami tentang lingkup pendekatan dalam evaluasi kurikulum.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui tentang model evaluasi kurikulum.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Evaluasi Kurikulum
Kurikulum merupakan bagian dari pendidikan dalam lingkup yang luas. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.[1] Mengevaluasi keberhasilan sebuah pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya. Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan perhatiannya pada program-program untuk peserta didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya fase pengembangan ini dengan efektif dan bermakana. Dari hasil-hasil evaluasi ini lah pihak pengembang dapat mengadakan perbaikan dan penyesuaian sebelum kurikulum yang baru tersebut terlanjur disebarluaskan secara nasional. Menurut Hamid Hasan (1988:13) evaluasi adalah suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan. Jadi dengan demikian, evaluasi kurikulum adalah suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curriculum) dalam bentuk pembelajaran[2].
B.     Tujuan Evaluasi Kurikulum
Tujuan Evaluasi Kurikulum berbeda – beda tergantung dari konsep atau pengertian seseorang tentang evaluasi. Terkadang tujuan tersebut tercantum jelas dalam definisi yang dikemukakan dan terkadang juga tidak tercantum dalam definisi yang dikemukakan. Secara mendasar tujuan suatu pekerjaan evaluasi kurikulum, dan evalusi lainnya bersifat praktis. Tujuan Evaluasi Kurikulum sebagi berikut :
e.       Menyediakan informasi mengenai pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan bagi pengembilan keputusan.
f.       Menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu kurikulum serta factor – factor yang berkontribusi dalam suatu lingkungan tertentu.
g.      Mengembangkan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam upaya perbaikan kurikulum
h.      Memahami dan menjelaskan karakteristik suatu kurikulum dan pelaksanaan suatu kurikulum[3].
C.     Prinsip – Prinsip Evaluasi Kurikulum
Program evaluasi kurikulum didasarkan atas prinsip – prinsip sebagai berikut :
a.       Evaluasi Kurikulum didasarkan atas tujuan tertentu. Setiap program evaluasi kurikulum terarah untuk mencapai tujuan yang telah ditetepakan secara jelas dan spesifik. Tujuan – tujuan itu pula yang mengarahkan kegiatan – kegiatan sepanjang proses evaluasi kurikulum dilaksanakan.
b.      Evaluasi kurikulum harus bersifat Objektif. Pelaksanaan dan hasil evaluasi kurikulum harus bersifat objektif, berpijak pada apa adanyadan bersumber dari data yang nyata dan akurat yang diperoleh melalui instrument yang terandalkan.
c.       Evaluasi kurikulum bersifat komprehensif. Pelaksanaan evaluasi mencakup semua dimensi atau aspek yang tedapat dalam ruang lingkup kurikulum
d.      Evaluasi kurikulum dilasksanakan secara kooperatif. Tanggung jawab dalam pereencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan suatu program evaluasi kurikulum merupakan tanggung jawab bersama pihak – pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti guru, kepala sekolah, orang tua, bahkan siswa sendiri disamping menjadi tanggung jawab utama lembaga penelitian dan pengembangan.
e.       Evaluasi kurikulum harus dilaksanakan secara efisien. Pelaksanaan evaluasi kurikulum harus memperhatikan faktor efisiensi, khususnya dalam penggunaan waktu, biaya, tenaga, peralatan yang menjadi unsur penunjang, dan oleh karenanya harus diupayakan agar hasil evaluasi lebih tinggi atau paling tidak, berimbang dengan material yang digunakan.
f.       Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara berkesinambungan. Hal ini perlu mengingat tuntutan di dalam dan diluar system sekolah yang meminta diadakannya perbaikan kurikulum. Untuk itu, peran guru dan kepala sekolah sangat penting karena merekalah yang paling mengetahui tentang keterlaksanaan dan keberhasilan kurikulum serta permasalahan yang dihadapi[4].
D.    Pendekatan dalam Evaluasi Kurikulum
1.      Pendekatan Tradisional
Sekolah – sekolah tradisional hanya menekankan pada mata – mata pelajaran tertentu saja, terutama mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitungsesuai dengan tuntutan masyarakat pada waktu itu. Penilaian ditunjukan kepada hasil – hasil ujian yang bersifat kecerdasan saja. Usaha memahami murid secara individu hanya dalam hal kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan bahan pokok dalam silabus kurikulum sekolah. Penguasaan mata – mata pelajaran itulah yang menjadi tujuan pendidikan.
Berdasarkan kebijakan umum, kurikulum merupakan suatu instrumen yang penting digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum – isi dan susunannya – perlu didasarkan atas pertimbangan tentang tingkat pekembangan anak dan tenteng kebutuhan serta cita – cita masyarakat. Kurikulum harus diterapkan oleh guru – guru kelas, melalui prosedur mengajar di kelas dan dengan menggunakan metode – metode yang bersifat umum. Dalam pelaksanaan kurikulum, murid dapat berpatisipasi, dan kurikulum dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Guru kelas harus memahami betul nilai berbagai kegiatan kurikulum. Pelaksanaan itu harus bersifat efektif dan sistematik[5].
2.      Pendekatan Sistem
Pada pendekatan system dapat ditafsirkan bahwa, semua komponen terlibat, termasuk juga semua komponen manusia yang bertanggung jawab dalam proses evaluasi. Komponen – komponen evaluasi tersebut terdiri atas komponen kebutuhan dan fleksibility, komponen masukan, komponen proses, dan komponen produk. Keempat komponen ini mesti menjadi landasan pertimbangan dalam evaluasi kurikulum secara sistematis. Dengan demikian, bisa kita bedakan dengan cara menilai kurikulum gaya lama. Penilaian kurikulum gaya lama hanya menitik beratkan penilaiannya pada aspek produk, yakni menilai sejauh mana terjadi perubahan perilaku pada diri siswa. Perubahan perilaku itu tergantung pada faktor masukan. Jadi ketiga komponen itu saling berkaitan[6].
E.     Prosedur evaluasi kurikulum
Prosedur adalah langkah-langkah teratur dan tertib yang harus ditempuh sesorang evaluator pada waktu melakukan evaluasi kurikulum. Langkah-langkah tersebut merupakan tindakan yang harus dilakukan evaluator sejak dari awal sampai akhir suatu kegiatan evaluasi. Prosedur yang dikemukakan disini adalah hasil revisi dari prosedur, model, PSP yang dikemukakan Storeange dan Helm (1992).
1.      Kajian terhadap evaluan
Langkah pertama yang harus dilakukan evaluator terhadap kurikulum atau bentuk kurikulum yang menjadi evaluannya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman terhadap karakterisitk kurikulum. Evaluator harus mempelajari secara mendalam latar belakang kelahiran suatu kurikulum, landan filsofi fan teoritis kurikulum tersebut, ide kurikulum, model kurikulum yang digunakan untuk dokumen kurikulum, proses pengembangan dokumen.
2.      Pengembangan proposal
Berdasarkan kajian yang dilakukan pada langkah pertama maka evaluator kemudian mengembangkan proposalnya. Untuk itu maka evaluator memutuskan pendekatan dan jenis evaluasi yang akan dilakukan. Evaluator dapat menentukan apakah yang akan digunakannya adalah evaluasi kuantitatif ataukah evaluasi kualitatif. Tentu saja berbagai faktor pribadinya seeprti pendidikan dan pandangan keilmuannya akan sangat menentukan pendekatan metodologi yang akan digunakan.
3.      Pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna jasa evaluasi
Pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna jasa evaluasi merupakan langkah penting dan menentukan. Hasil diskusi dengan pengguna jasa akan menentukan apakah proposal yang diajukan akan dapat ditindak lanjuti atau tidak. Jika evaluator berhasil meyakinkan calon pengguna jasa evaluasi maka proposal yang diajukan mungkin akan disetujui dan pekerjaan evaluasi akan dapat dilaksanakan. Artinya, tidak ada pekerjaan evaluasi yang dilakukan berdasarkan proposal tersebut
4.      Revisi Proposal
Revisi proposal adalah tindak lanjut dari hasil pertemuan antara pengguna jas evaluasi dengan evaluator. Apabila dalam pertemuan dan pembicaraan tersebut berbagai kompenen harus direvisi maka adalah kewajiban evaluator untuk melakukan revisi tersebut. Hasil revisi harus diperlihatkan kembali kepada pengguna jasa evaluasi dan disetujui. Jika dari hasil diskusi pada pertemuan itu tidak ada hal yang perlu direvisi maka langkah revisi ini dengan sendirinya tidak diperlukan.
5.      Rekruitmen personalia
Rekruitmen personalia untuk pekerjaan evaluasi mungkin 8saja dilakukan ketika proposal disusun. Jika prosedur itu yang ditempuh maka rekruitmen dianggap sudah terjadi. Dalam hal demikian maka pada proposal jumlah orang, nama serta kualifikasi harus dicantumkan. Pencantuman itu akan memberikan nilai lebih pada proposal.
6.      Pengurusan persyaratan administrasi
Setiap kegiatan yang berkenaan dengan evaluasi kurikulum memrlukan berbagai formalitas administrasi. Evaluator harus mendapatkan persetjuan dari pengguna kurikulum, pimpinan sekolah atau atasannya, dan mungkin juga dari pejabat yang terkait dengan masalah keamanan sosial politik. Untuk itu diperlukan berbagai surat seperti surat izin melakukan evaluasi, surat permohonan kesediaan menjadi responden, surat identitas anggota dan sebagainya. Keberadaan surat ini sangan penting dan sangat mutlak diperlukan.
7.      Pengorganisasian pelaksanaan
Pengorganisasian pelaksanaan adalah suatu kegiatan manajemenyang tingkat kerumitannya ditentuakan oleh ruang lingkup pekerjaan evaluasi dan jumlah evaluator yang terlibat. Semakin luas wilayah yang harus dievaluasi dan semakin banyak evaluator yang harus dilibatkan maka semakin rumit pula pekerjaan management yang harus dilakukan jika evaluasi itu hanya dilakukan oleh seorang maka management tidak akan serumit jika evaluator terdiri dari sebuah tim.
8.      Analisis data
Pekerjaan analisis data tentu saja merupakan tindak lanjut setelah proses pengumpuilan data evaluasi berhasil dilakukan. Ketika model yang digunakan adalah model kuantitatif dan dengan demikian data utama evaluasiadalah data kuantitatif. Proses dan tekhnik pengolahan data yang diakui dalam model kuatitatif harus dilaksanakan.
9.      Penulisan pelaporan
Penulisan laporan sebagaimana halnya dengan analisis data, penulisan laporan harus dilakukan oleh evaluator dan tim evaluator. Format laporn harus disesuaikan dengan kesepakatan yang dilakukan pada waktu awal.
10.  Pembahasan Laporan dengan pemakai jasa
Pembahasan ini diperlukan untuk melihat kelengkapan laporan. Dalam pembahasan ini jika pengguna jasa memerlukan tambahan informasi yang memang tercantum dalam kontrak maka adalah kewajiban evaluator untuk melengkapi laporan tersebut.
11.   Penulisan laporan akhir
Penulisan Laporan akhir adalah sebagai hasil dari revisi yang harus dilakukan evaluator ketika terjadi pembahasan laporan dengan pengguna jasa[7].
F.      Model – Model Evaluasi Kurikulum
a.       Model Evaluasi Kuantitatif
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi[8].
Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan criteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.
1.      Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
a.       Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi.
b.      Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan..
c.       Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik.
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak mendi focus evaluasi[9].
b.      Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator[10].
Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar. Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut:
1.      Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2.      Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
3.      Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4.      Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
Demikianlah tahapan pelaksanaan model evaluasi Taylor dan Maguaire. Adapun kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini[11].
c.       Model Pendekatan Sistem Alkin
Adapun model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1.      Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2.      System luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran system (persekolahan)
3.      Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.
4.      Factor masukan mempengaruhi aktifitas factor perantara dan pada gilirannya factor perantara berpegaruh terhadap factor keluaran[12].
Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor perantara yang merupakan kelompok variable yang secara langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini harus diikuti sejak peserta didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam focus kajian yaitu yang hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah[13].

d.      Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
1.      Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2.      Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif[14].
Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric berdasarkan data lapangan.
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.
e.       Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
2.      Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.
3.      Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
4.      Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.
b.      Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness.
Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
c.       Model Evaluasi Kualitatif
Adapun model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai focus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a.       Model Studi Kasus
Adapun model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan berupa data kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data kuantitatif yang kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak data kuantitatif.
Dan dalam menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi. Familirialisasi ada dua jenis. Pertama, familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.
b.      Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1.      System intruksi
System intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system instruksi.
2.      Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a.       Observasi
Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
b.      Inkuiri lanjutan
Dalam tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c.       Usahan penjelasan
Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut. Disamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif[15].
c.       Model Responsive
Model responsive dikembangkan oleh Stake. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari model countenancenya, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Perbedaan – perbedaan yang ada meyebabkan model ini layak untuk didiskusikan. Perbedaan pertama adalah dalam focus. Model countenance mempunyai fokus yang lebih luas dibandingkan dengan model responsive. Model countenance memberikan perhatian terhadap kurikulum sebagai suatu rencana. Dalam model responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan.
Perbedaan kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdssarkan pengembangan kriteria fidelity, model responsivemengembangkan kriterianya berdasarkan pendekatan proses. Dengan kepentingannya yang besar terhadap pelaksanaan kurrikulum di lapangan, model responsive memberikan perhatian terhadap interaksi anatara evaluator dengan pelaksana kurikulum. Tanpa interaksi tersebut, seorang evaluator jangan mengaharapakan berhasil menerapkan model ini. Tanpa interaksi tidak ada satupun “issue” yang dapat diungkapan[16].


BAB III
KESIMPULAN
Evaluasi kurikulum terdiri dari kata evaluasi dan kurikulum. Evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi, dan efektivitas suatu program. Kata kurikulum berarti kurikulum potensial berupa dokumen kurikulum. Maka evaluasi kurikulum dapat diartikan sebagai penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi, dan efektivitas suatu dokumen kurikulum.
Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian, karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Evaluasi kurikulum penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar.
Adapun prinsip-prinsip evaluasi kurikulum adalah adanya tujuan tertentu, bersifat obejektif, komprehensif, koorperatif, dan bertanggung jawab dalam perencanaan, efisien, dan berkesinambungan.
Model-model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan menjadi:
a.       Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP
b.      Model Ekonomi
c.       Model Kualitatif. Meliputi model studi kasus dan model iluminatif.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hidayati, Wiji. 2012. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: PT Pustaska Insan Madani.
Hamalik, Umar.1993.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kusumdinata, Nana Syaodih.2012.Kurikulum dan Pemebelajaran Kompetensi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Idi, Abdullah.2014.Pengembangan Kurikulum.Jakarta: Rajawali Pers.
http://devifashihatu.blogspot.co.id/2013/10/evaluasi-kurikulum.html?m=1


[1] Hidayati, Wiji. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: PT Pustaska Insan Madani. 2012. Hlm. 4.
[2] http://devifashihatu.blogspot.co.id/2013/10/evaluasi-kurikulum.html?m=1

[3] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.42
[4] Hamalik, Umar.1993.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.11
[5] Ibid hlm. 15
[6] Ibid hlm. 17
[7] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.160
[8] Ibid hlm.187
[9] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.190
[10] Ibid hlm.194
[11] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.196
[12] Ibid hlm.200-202
[13] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.204
[14] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.206-209
[15] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.217-236
[16] Hasan, S. Hamid.2008.Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.236

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karakteristik Kurikulum 2006/ KTSP

PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

PENGEMBANGAN SILABUS